Resensi: Alazhi Perawan Xinjiang
Alazhi, gadis Muslimah Uyghur harus menerima kenyataan bahwa kedua adiknya, Gulina dan Aisha meninggalkan rumah mereka di Kasygar, Provinsi Xinjiang demi mengejar mimpi mereka di Guangzhou, kota yang jauh lebih maju dan modern.
Kepergian Gulina dan Aisha membuat Alazhi berpikir untuk menyusul kedua adiknya untuk menjalani kehidupan dan karir yang lebih baik di Guangzhou. Terlebih setelah mendengar kata-kata Gulina dan Aisha kepadanya beberapa waktu lalu
“Apa yang dijanjikan kota ini untuk kita? Tidak ada. Kita hanya sibuk menabung untuk membeli perbekalan jika muslim dingin datang. Seperti bajing saja,” kata Gulina.
“Benar, Gulina, padahal kita semua sarjana. Tapi, gaji kita hanya cukup untuk membantu Anamenghidupkan tungku. Tapi, terutama aku sudah bosan dengan suasananya. Coba kau lihat majalah-majalah itu. Dunia luar begitu menawan. Kita bisa berkembang!” kata Aisha.
Namun, siapakah yang akan menjaga Dada dan Ana menjalani sisa hidupnya di rumah yang sederhana mereka? Sementara saudaranya yang tersisa hanyalah Yasen, adik laki-laki satu-satunya.
Terlebih lagi mereka, sebagai orang Uyghur, etnis minoritas di Cina selalu mendapat perlakukan tidak adil dari pemerintah. Mereka menjadi terpinggirkan di kampung sendiri. Untuk urusan ibadah pun mereka tidak bebas melaksanakannya.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan mempertimbangkan, Alazhi pun meninggalkan rumahnya yang sederhana di Kasygar menuju kota modern, Guangzhou. Namun, bekerja di sana pun tidak mudah. Ia harus rela melepaskan hijabnya, yang menjadi identitasnya sebagai Muslimah selama ini. Ia rela meninggalkan Ana, Dada, dan Yasen, tanpa pamit pada mereka. Betapa besar rasa malu yang ditanggung Dada sebagai tokoh agama di Kasygar, saat orang-orang mengatakan putrinya lari dari rumah.
Tapi, sekalipun Alazhi telah melepaskan hijabnya, ia tetaplah seorang Uyghur. Etnis Muslim keturunan Turki yang lebih mirip orang Eropa ketimbang orang Cina asli yang bermata sipit. Dan karena itu ia tidak akan pernah lepas dari celaan mereka.
Setelah menjalani hidup di Guangzhou, Alazhi merasa rindu pada kampungnya. Rindu suasana rumahnya yang sederhana tapi sangat akrab dan harmonis. Tapi, malu telah menghinggapinya. Ia malu telah lari dari rumah dan meninggalkan Dada dan Ana begitu saja.
Alazhi perawan Xinjiang, novel menarik dan menguras perasaan. Novel yng menceritakan perjuangan Muslimah Uyghur yang memilih berkarir ke Guangzhou dan hidup modern di tengah gemerlapnya kota. Meskipun begitu, dia tidak merasa puas. Jiwanya sebagai muslimah Uyghur tetap ada dalam hatinya. Dan ingin kembali ke kota kelahirannya.
Nathayla Anwar, sang penulis dengan serius berkunjung langsung ke Xinjiang, dan bertemu dengan Alazhi, Muslimah Uyghur yang dijadikannya tokoh utama dalam novel ini.
Judul : Alazhi Perawan Xinjiang Perjalanan Cinta Gadis Muslim Uyghur
Penulis : Nathayla Anwar
Penerbit : Qanita
Tebal : 440 halaman
Komentar
Posting Komentar