Penyebaran Angka Arab dari Dunia Islam ke Eropa
Ilmuwan Islam turut memberikan sumbangan besar dalam perkembangan matematika. Bermula pada abad ke-8 M ketika ummat Islam mencapai puncak kejayaannya di Baghdad.
Para ilmuwan Islam memburu ilmu matematika yang berasal dari Yunani dan India kuno. Al-Kindi, ilmuwan Muslim abad ke-9, dalam bukunya berjudul “Kitab fi Isti’mal Al-Adad Al-Hindi (On The Use of The Indin Numerals) merupakan referensi awal yang berperan besar dalam memperkenalkan sistem angka dari India ke Timur Tengah dan dunia Barat.
Dari buku itulah orang-orang mengenal angka-angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Angka-angka ini dalam bahasa Inggris disebut dengan Arabic Numerals. Dan ketika angka-angka ini tersebar ke Eropa, bangsa Eropa menggunakannya untuk mengganti angka Romawi yang sangat rumit jika digunakan dalam perhitungan.
Angka Arab ini telah mulai digunakan di Baghdad pada abad ke-8 M ketika seorang terpelajar dari India memperkenalkan sistem angka India pada tahun 771 M. kemudian pada abad ke-10, para ahli matematika dari Timur Tengah juga menambahkan angka-angka pecahan decimal seperti 0.5, ¼, dan 0.75 dengan menggunakan titik atau koma sebagai penanda pecahan. Perhitungan model ini sudah tertulis dalam sebuah risalah karya seorang ahli matematika dari Suriah, Abul Hasan Al-Uqlidisi yang ditulis sekitar tahun 952 M.
Di dunia Barat, sistem angka Arab pertama kali disebutkan dalam manuskrip berjudul Codex Vigilanus yang ditulis di Spanyol (Andalusia) pada tahun 976 M. sejak tahun 980-an, Gilbert de Aurillac (Paus Silvester II) mulai memperkenalkan penggunaan sistem angka ke Eropa, di mana ia kemudian mendapat banyak penolakan karena membawa pengetahuan baru dan aneh dari dunia Islam.
Gilbert memang pernah belajar di Barcelona saat masih muda, dan tidak menutup kemungkinan ia juga pernah menimba ilmu pengetahuan di Andalusia yang merupakan negeri peradaban Islam. Sejak itulah, sistem angka Arab mulai digunakan di Eropa untuk menggantikan sistem angka Romawi yang sangat rumit.
Orang Eropa sendiri masih lazim menggunakan angka-angka Romawi hingga abad ke-15 M dalam perhitungan. Padahal menggunakan angka-angka Romawi dalam perhitungan sangatlah rumit karena memang tidak dirancang untuk penambahan dan pengurangan. Misalnya, menjumlahkan angka 456 dengan 734, jika menggunakan angka romawi ditulis CDLVI + DCCXXXIV. Sangat sulit untuk dijumlahkan.
Angka Nol
Belum diketahui secara pasti siapa yang menemukan angka nol (0). Namun, notasi angka berjajra tanpa menggunakan angka nol diketahui telah digunakan di India sejak abad ke-6 M. waktu itu, angka nol belum ditulis (0) dan hanya digambarkan sebagai spasi kosong di antara dua angka. Penggunaan angka nol sebagai angka di belakang koma atau angka pecahan desimal diketahui pertama kali digunakan pada abad ke-9 oleh para ahli matematika Muslim dari Arab dan Persia. Digit nol waktu itu dilambangkan dalam bentuk titik dan disebut sebagai binduatau “titik”.
Kata zero (nol) sendiri diambil dari bahasa Italia “zefiro” yang asalnya menyerap kata “safira” (kosong) dari bahasa Arab. Safira berakar dari kata sifr atau nihil yang oleh bangsa Arab digunakan untuk menerjemahkan kata “Sunya” dari bahasa Sansekerta yang bermakna “kosong” atau “hampa”.
Leonardo Fibonacci (1170-1250 M), seorang ahli matematika asal Italia, berjasa besar membawa angka-angka Arab termasuk angka nol dari dunia Islam ke Eropa. Fibonacci menggunakan kata zephyrum untuk mengartikan kata sifr dalam bahasa Arab. Zephyrum inilah yang kemudian menjadi zefiro dalam bahasa Italia dan disingkat zero oleh orang Venezia sebelum akhirnya diserap dalam bahasa Inggris.
Komentar
Posting Komentar