Historiografi Haji Indonesia (Buku karya Dr. M. Saleh Putuhena)
Ibadah haji merupakan salah satu di antara lima rukun Islam. sebagaimana ibadah yang lain, haji dalam pengamalannya melewati suatu proses yang dimulai dengan pengetahuan tentang haji, pelaksanaan haji, dan berakhir pada berfungsinya haji, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat.
Telah banyak para ulama dan pakar syariah menulis tentang haji. Namun, mengenai sejarah haji di Indonesia masih bisa dihitung jari. Dan di antara karya penting mengenai sejarah haji Indonesia adalah buku Historiografi Haji Indonesia karya Dr. M. Saleh Putuhena, mantan Rektor IAIN Alauddin Makassar.
1. Sumber-sumber Penulisan
Sumber penulisan Historiografi Haji Indonesia:
1. Buku ini menjadikan al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai sumber primer. Meskipun al-Qur’an bukan sebuah buku sejarah, sebagian dari ayat-ayatnya memberikan informasi sejarah. Demikian pula dengan hadis sebagian di antaranya menginformasikan fakta-fakta sejarah.
2. Sumber kedua adalah literatur-literatur tentang Haji Indonesia, seperti Het Mekkaansche Feest dan Mekka In the Latter Part of th 19thCentury karya Dr. Christian Snouck Hurgronje. Karya yang disebut pertama adalah disertasinya untuk memperoleh gelar doctor dalam Sastra Semit pada Universitas Leiden tahun 1880. Bagian pertama buku ini menerangkan pengaruh haji Jahiliah terhadap Islam. pada bagian kedua, membahas persoalan persiapan untuk pelaksanaan ibadah haji dan upacara-upacara di mekah. Bagian ketiga uraiannya bertalian dengan haji dan tipografi tempat pelaksanaan haji serta upacara haji pada tempat-tempat tersebut.[1]Literatur lain yang dijadikan sumber rujukan oleh penulis adalah disertasi dari Abdoel Patah berjudul De Medische Zijde van de Bedevaart naar Mekka. Buku ini menjelaskan tentang kondisi kesehatan jamaah haji Indonesia yang disertai dengan uraian tentang patologi dan terapinya. Dan masih banyak buku lainnya yang dijadikan rujukan di dalam penulisan buku ini.
3. Dokumen pemerintah Belanda. Seperti bundle yang berisi laporan dan surat menyurat antar Konsulat Belanda di Jeddah, dan beberapa dokumen lain yang berbicara tentang berbagai masalah yang bertalian dengan haji.
2. Fakta-fakta Sejarah
Banyak sekali fakta sejarah yang tertuang dalam buku ini, di antaranya adalah:
1. proses pelaksanaan haji yang telah dilaksanakan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad. Dalam al-Qur’an tercantum bahwa Nabi Ibrahim setelah membangun kembali Ka’bah, diberikan petunjuk tentang tata cara haji (Q.S. al-Baqarah: 127-128). Demikian juga beberapa nabi lainnya.[2]
2. Orang-orang Arab pra Islam juga melaksanakan haji. Mereka masih memelihara tradisi Nabi Ibrahim meskipun tradisi itu kemudian diselewengkan. Misalnya mereka melaksanakan tawaf di Ka’bah tanpa mengenakan busana baik itu laki-laki maupun perempuan. Dari rekonstruksi pelaksanaan haji pada masa Jahiliah terdapat unsur-unsur manasik Nabi Ibrahim. Hal ini menandakan bahwa pada waktu itu suku-suku Arab masih mengikuti millah Ibrahim. Meskipun ajaran Nabi Ibrahim yang murni tersusupi oleh tradisi-tradisi jahiliah.[3]
3. Peristiwa Haji Wada’ atau haji perpisahan. Nabi Muhammad hanya sekali melaksanakan ibadah haji, yaitu dikenal dengan Haji Wada’. Tidak terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Dikenal dengan Haji Wada’ karena tidak lama setelah itu Nabi wafat.
4. Adanya hubungan antara Nusantara dengan Jazirah Arab melalui perdagangan dengan jalur pelayaran melalui anak benua India yang berlangsung sejak abad pertama Masehi.[4]Pedagang dari India menggunakan kapal yang digunakan oleh para pedagang. Mereka berasal dari India bagian selatan. Dari daerah asalnya, mereka mengangkut berbagai macam komoditas perdagangan untuk ditukar (barter) denga hasil pertanian Nusantara. Pedagang-pedagang India itu kemudian menjual barang komoditas dari Nusantara kepada pedagang-pedagang Arab, terutama Yaman. Hubungan perdagangan India dengan Arab Selatan sudah terkenal sejak dahulu. Perahu Arab secara regular berlayar ked an dari India demikian pula sebaliknya dengan perahu India.[5]
5. Pada abad XVII terdapat orang Nusantara yang berkunjung ke Hijaz untuk belajar di Mekah dan Madinah.[6]Di antara mereka ada yang merantau untuk belajar sambil melaksanakan ibadah haji. Dari sejumlah orang yang tercatat telah melaksanakan ibadah haji pada abad XVII pada umumnya terdiri dari mereka yang bermaksud untuk melanjutkan studinya di Hijaz.[7]
3. Pendekatan yang dipakai
Selain pendekatan sosiologi, dalam buku ini juga menggunakan pendekatan politik. Pada halaman 251 penulis menulis bab VII dengan judul Haji dan Politik, di dalamnya banyak menggunakan pendekatan politik. Misalnya penulis membahas tentang konflik atau pertentangan antara kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib dan pendukung Khalifah Utsman bin Affan, pertentangan Aisyah dengan Muawiyah dan lainnya. Kemudian peranan orang-orang yang telah berhaji dalam ikut serta pada peperangan melawan penjajah Belanda di berbagai daerah di Nusantara.
4. Hal-hal yang baru
Banyak hal atau informasi baru yang didapat dari buku ini, beberapa di antaranya adalah:
1. Berdasarkan sumber-sumber yang didapat diidentifikasi bahwa mereka yang pertama kali melaksanakan haji bukan jama’ah haji, melainkan para pedagang, utusan sultan, dan para musafir penuntut ilmu. Sejak abad XVI hingga abad XVII mereka telah berkunjung ke Hijaz untuk melaksanakan pekerjaan masing-masing sambil melaksanakan ibadah haji.[8]
2. Pada permulaan abad XVI telah dijumpai pribumi Nusantara di Mekah yang kemungkinan besar mereka adalah pedagang yang adatang dengan kapalnya sendiri. Jama’ah haji yang dijumpai oleh Louis Berthema di Mekah pada 1503 barangkali adalah orang-orang Nusantara yang melaksanakan haji. Mereka adalah pedagang dan pelayar yang berlabuh di Jedah dan berkesempatan untuk berkunjung ke Mekah. Kemudian sebuah sumber Venesia melaporkan bahwa pada 1556 dan 1566 terdapat lima buah kapal dari Aceh yang berlabuh di Jeddah.[9]Sebelumnya pada abad XV, belum ditemukan pedagang Nusantara di pelabuhan internasional yang tersebar antara Nusantara dengan Arab.[10]
3. Kemudian pada abad XVII, mulai terdapat orang Nusantara yang berkunjung ke Hijaz dengan maksud untuk belajar di Mekah dan Madinah. Mereka selain menuntu ilmu dan bermukim di Hijaz selama beberapa waktu juga melaksanakan ibadah haji.
4. Mengenai hubungan antara Arab dengan Nusantara. Pedagan Arab yang semula hanya berlayar sampai ke India, sejak abad VIII mulai masuk ke Nusantara dalam rangka perjalanan ke Cina. Meskipun hanya sekedar transit, hubungan Arab-Nusantara menjadi bersifat langsung. Pelayaran ke Nusantara menjadi semakin ramai ketika pedagang arab dilarang masuk ke Cina. Sejak saat itu, para pedagang Arab lebih banyak lagi yang singgah dan menetap di Indonesia. Dan sejak saat itu mulai terbentuk komunitas Arab di Indonesia.
5. Pada tahun 977 M, pedagang Arab telah mendapat kepercayaan dari kerajaan Sriwijaya untuk menjadi utusan resmi pemerintah ke Cina. Mereka dipilih karena lebih menguasai dan memahami keadaan di Cina dan mempunyai keahlian dalam berdiplomasi.[11]
Komentar
Posting Komentar