Sejarah Sebagai Ilmu dan Sejarah Sebagai Seni


1.  Pengertian Sejarah Sebagai Ilmu
Sejarah sebagai ilmu adalah suatu susunan pengetahuan tentang peristiwa dan cerita yang terjadi di dalam masyarakat pada masa lampau yang disusun secara sistematis dan menggunakan metode yang didasarkan atas asas-asas, prosedur dan metode serta teknik ilmiah yang diakui oleh para pakar sejarah.[1]

2.  Pengertian Sejarah Sebagai Seni
Jarak antara masa kini dan masa lampau selalu menjadi persoalan utama seorang sejarawan. Walaupun berbagai tahapan dalam metode sejarah mampu menjamin kebenaran sumber tersebut, tetapi dalam menafsirkan sumber tersebut sejarawan lebih condong menjadi subjektif daripada objektif. Untuk menjembatani masa kini dan masa lampau, seorang sejarawan harus memiliki jiwa seni, bukan saja berkaitan dengan pencarian sumber alternatif, penciptaan imajinasi yang membantu penafsiran sumber, dan yang ketiga penyajian karya sejarah agar menarik dibaca.[2]

Oleh karena itu, karya-karya sastra tidak boleh diabaikan dalam mengungkapkan realitas masa lampau yang penting dalam membantu menjelaskan kejadian-kejadian di masa lampau secara utuh. Hal yang cukup penting juga berkaitan dengan nilai estetika karya sastra yang dapat membantu penyajian karya sejarah. Umum diketahui, banyak histriografi yang diciptakan sejarawan-sejarawan profesional hanya menjadi konsumsi sejarawan profesional lainnya, tanpa menarik perhatian masyarakat umum. Permusuhan antara Sejarawan dan karya-karya sastra membuat sejarawan hanya menyajikan data dan fakta secara kronologis, tanpa dapat merangkaikannya, mengimajinasikannya, dan membawa pembacanya larut ke masa lalu. Maka tidak heran, tulisan sejarah karya para amatir, seperti wartawan, pelaku sejarah, dan lain sebagainya lebih banyak dibaca dibanding karya sejarawan profesional.

Sejarah merupakan suatu disiplin ilmu yang memadukan kaidah ilmu pengetahuan dan nilai estetis Seni. Tentunya, historiografi yang baik adalah karya yang mampu mengombinasikan sumber yang menyajikan kebenaran fakta sejarah dengan imajinasi
  
3. Ciri-Ciri Sejarah Sebagai Ilmu dan Sejarah Sebagai Seni

A.  Ciri-Ciri Sejarah Sebagai Ilmu
Adapun ciri-ciri sejarah sebagai ilmu menurut Kuntowijoyo[3], adalah sebagai berikut:

1.  Bersifat Empirik.
Sejarah termasuk juga pada ilmu-ilmu empirik. Artinya sejarahpun  mendasarkan diri pada pengamatan serta pengalaman manusia. Memang harus diakui bahwa pengamatan sejarah tidak mungkin dilakukan secara langsung  terhadap objeknya seperti halnya pada ilmu-ilmu alam. Objek ilmu sejarah adalah masa lampau. Masa lampau itu sendiri sudah tidak lagi dapat diamati dan dialami lagi, karena memang sudah lampau dan hilang ditelan waktu. Yang masih dapat diamati dalam sejarah adalah peninggalan-peninggalan yang masih tersisa, bukti-bukti serta kesaksian dari para pelaku sejarah.

2. Objek sejarah adalah masa lampau
Berbeda dengan ilmu-ilmu sosial yang berupaya memahami perilaku manusia di waktu sekarang, maka ilmu sejarah lebih berusaha untuk memahami perilaku manusia di waktu lampau. Waktu yang dikaji dalam sejarah adalah waktu subjektif, ialah waktu yang dialami dan dirasakan oleh manusia. Makna waktu bagi manusia tergantung relasinya terhadap dirinya.

3. Sejarah memiliki metode tersendiri,
Ialah metode sejarah. Metode yang digunakan dalam sejarah adalah metode sejarah. Dengan metode sejarah itulah akan dikaji keaslian sumber data sejarah, kebenaran informasi sejarah, serta bagaimana dilakukan interpretasi dan inferensi terhadap sumber data sejarah tersebut.

4.Sejarah memiliki teori-teori dan konsep-konsep sendiri.
Sejarah memiliki teori ilmu pengetahuan ( epistemology ) sendiri yang memberikan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah ilmu sejarah. Sejarah memiliki teori-teori tersendiri mengenai kebenaran, objektivitas, subjektivitas, generalisasi dan hukum sejarah. Sejarah sebagai ilmu telah memiliki tradisi yang tua lagi panjang.Tiap kurun zaman berkembang pula filsafat sejarah tersendiri.

B.Ciri-Ciri Sejarah Sebagai Seni
Adapun ciri-ciri Sejarah Sebagai Seni adalah sebagai berikut[4]:

1. Sejarah memerlukan intuisi.
Kerja sorang sejarawan tidak cukup hanya mengandalkan metode dan rasionalitas yang dimilikinya, melainkan pula memerlukan intuisi yang berlangsung secara naluriah atau instinktif. Ini terjadi bukan saja dalam tahap interpretasi ataupun historiografi, melainkan berlangsung pada seluruh proses kerja sejarawan. Proses heuristik juga memerlukan ars in veniendi (seni mencari).

2.Sejarah memerlukan imajinasi.
Setiap ahli metodologi mengakui bahwa imajinasi harus memainkan satu bagian dalam beberapa tahap karya ahli sejarah. Imajinasi merupakan sumber pengetahuan sejarah.[5]Imaginasi membantu untuk mampu membayangkan bagaimana proses sejarah itu terjadi. Sekalipun sejarah tak dapat dilepas dari imaginasi, namun sejarah tetap sejarah dan bukannya fiksi. Kebenaran objektivitas dan faktual sejarah tetap menjadi landasan kerja bagi seorang sejarawan.

3. Sejarah memerlukan emosi.
Sejarah yang dibahas adalah sejarahnya manusia. Bercerita tentang sejarah harus mampu menghadirkan objek ceritanya kepada pembaca atau pendengarnya seolah-olah mereka berhadapan sendiri dengan tokoh yang diceritakan. Sejarawan memerlukan emphati (perasaan) dengan segala afeksi-nya.

4. Sejarah memerlukan gaya bahasa.
Penulisan gaya bahasa memiliki peranan yang penting dalam mengkomunikasikan kisah atau cerita sejarah. Hasil penulisan sejarah tersebut menarik atau tidaknya cerita sejarah banyak bergantung pada gaya penyampaiannya. Sejarawan harus mampu mendeskripsikan peristiwa sejarah sebagai layaknya seorang pelukis melukiskan secara naturalis.

4. Perbedaan Sejarah Sebagai Ilmu Dengan Sejarah Sebagai Seni

Pada umumnya sejarah memiliki ciri-ciri yang yaitu bersifat rasional, empiris, dan sementara. Rasional artinya kebenaran itu ukurannya akal. Sesuatu dianggap benar menurut ilmu apabila masuk akal. Sebagai contoh, kita mengenal adanya candi Borobudur yang megah. Secara akal dapat dijelaskan bahwa pembangunannya dilakukan oleh manusia biasa dengan menggunakan teknik-teknik tertentu sehingga terciptalah sebuah bangunan. 

Bersifat empiris maksudnya bahwa sejarah melakukan kajian atas peristiwa yang benar-benar terjadi dimasa silam peristiwa itu akan didokumentasikan dan menjadi bahan penelitian para sejarawan untuk menemukan fakta. Fakta-fakta ini kemudian diinterpretasikan sehingga timbul tulisan sejarah. Sedangkan bersifat sementara maksudnya adalah bahwa dalam ilmu pengetahuan, kebenaran yang dihasilkan sifatnya tidak mutlak. Tidak seperti halnya kebenaran dalam agama yang bersifat mutlak. Kebenaran ilmu pengetahuan bersifat sementara, artinya dapat dibantah apabila ditemukan teori-teori baru.[6]

Sedangkan sejarah, Sebuah karya sejarah, terkadang tidak saja bersumber pada data dan fakta konvensional, seperti arsip, buku, ensiklopedi, surat, dan lain sebagainya, yang kebanyakan hanya dapat menujukkan realitas di bagian permukaan saja. Akan tetap, harus pula dapat menggunakan sumber alternatif lain, terutama karya-karya sastra, seperti novel, roman, cerpen, puisi, dan lain sebagainya. Memang karya sastra tidak memisahkan unsur-unsur riil dan khayal. Namun demikian, sudah menjadi tugas seorang sejarawan untuk memisahkan itu. Dalam pengalaman saya, usaha mempergunakan berbagai karya sastra lebih banyak membantu, daripada merugikan, terutama mendapatkan data sosial yang sangat berharga dan tidak dapat didapatkan dari keterangan-keterangan sumber konvensional.[7]

Selain itu, penggunaan karya sastra juga sangat membatu seorang sejarawan, terutama dalam tahapan interpretasi, untuk berimajinasi yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan masa kini dan masa lampau.


                   







[1] Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Cet.I, Jakarta: Logos, 1999), h. 2
[2] Ibid.
[3] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (cet.5, Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), h. 21
[4] Kuntowijoyo, h. 69.
[5] G.J. Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah (Cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 200.
[6] Sidi Gazalba, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu (Cet.I, Jakarta: Bharata, 1991), h. 56.
[7] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam yang Asing

Cheng Ho, Laksamana Muslim yang Tangguh

Kisah Khalifah Al-Ma’mun Menaklukan Kaum Khawarij