Abdurrahman I (Ad-Dakhil) dan Berdirinya Keemiran Bani Umayyah di Andalusia
Pada tahun 132 H/ 750 M, orang-orang Bani ‘Abbas melakukan penyerangan terhadap Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus. Bani Abbas yang dipimpin oleh Abū al-‘Abbās al-Saffāh membantai orang-orang Umawiyyun dan berhasil membunuh khalifah terakhir Bani Umayyah, Marwān ibn Muhammad ibn Marwān. Dengan dendam yang telah lama tersimpan dan telah mendarah daging terhadap Bani Umayyah, orang-orang ‘Abbas membunuh semua keturunan laki-laki Bani Umayyah agar tidak ada lagi dari kalangan mereka yang dapat menjadi khalifah di kemudian hari.
Pihak ‘Abbasiyyun membunuh semua orang yang dianggap layak menjadi khalifah dari kalangan Umawiyyun kecuali sedikit saja yang tidak terjangkau oleh pedang-pedang mereka. Di antara yang berhasil lolos dari pembunuhan tersebut adalah ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu‘āwiyah, cucu dari Hisyam ibn ‘Abd al-Malik yang berkuasa pada tahun 723 hingga tahun 743 M.
‘Abd al-Rahmān berhasil melarikan diri menuju wilayah Magrib karena ibunya adalah seorang wanita yang berasal dari suku Barbar. Ia bermaksud menemui keluarga ibunya di sana. Dari Syam, ‘Abd al-Rahmān ibn Mu’āwiyah menujuk ke Mesir, lalu sampai ke Burqah (Libya) dan bersembunyi di sana selama lima tahun setelah itu barulah ia keluar menuju Qairuwan. Pada masa itu Qairuwan dipimpin oleh ‘Abd al-Rahmān ibn Ḥabīb al-Fiḥrī. Afrika Utara termasuk Qairuwan berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari kekuasaan Daulah Abbasiyah.
Sebagai penguasa Magrib, ‘Abd al-Rahmān ibn Habīb al-Fihrī merasa terancam dengan kehadiran ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu’āwiyah dan semakin banyaknya pelarian orang-orang Umawiyyun ke negerinya. Ia takut akan terbentuknya sebuah kekuatan Umawiyyah di sana sehingga ia mengusir orang-orang Bani Umayyah, membunuh dua orang putra al-Walīd ibn Yazīd, mengawini paksa saudari ‘Ismaīl ibn ‘Abad ibn ‘Abd al-‘Azīz ibn Marwān, mengambil hartanya dan berupaya keras mencari ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu’āwiyah.[1]
Karena merasa tidak aman, ‘Abd al-Rahmān ibn Mu’āwiyah keluar dari Qairuwan menuju Tadila. Kemudian dari Tadila ia berangkat menuju Mudarib, kabilah Nafzah di wilayah terujung Magrib. Kabilah ini adalah kerabatnya dari pihak ibu, karena ibu ‘Abd al-Raḥmān adalah seorang budak perempuan dari kabilah Nafzah.[2]Tetapi situasi di daerah ini juga tidak aman karena keberadaan kelompok Khawarij yang sangat membenci kalangan Bani Umayyah. Orang-orang Khawarij bersumpah untuk menghunuskan pedang pada ‘Abd al-Raḥmān.[3]Jadi, tidak ada pilihan lain baginya selain berangkat ke Andalusia.
Pada tahun 753 M (136 H), ‘Abd al-Rahmān ibn Mu’āwiyah mulai menyiapkan perbekalan untuk memasuki Andalusia. Ia melakukan beberapa persiapan sebelum memasuki kota yang pernah ditaklukkan oleh Ṭāriq ibn Ziyād itu. Pertama, ‘Abd al-Raḥmān mengutus budaknya, Badr, ke Andalusia untuk mempelajari situasi dan mengetahui kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi kekuasaan di sana. Saat itu, Andalusia menjadi ajang perebutan antara orang-orang Yaman yang dipimpin oleh al-Ṣabah al-Yahsubī, dan orang-orang Qais yang dipimpin oleh Abū Jausyan al-Ṣumail ibn Hatim. Mereka inilah yang menjadi andalan pemerintahan yang dipimpin oleh gubernur ‘Abd al-Rahmān ibn Yūsuf al-Fihrī. Kedua, ‘Abd al-Raḥmān mengirim surat kepada pendukung Daulah Umawiyah di Andalusia. Di Andalusia, Bani Umayyah memiliki banyak sekali pendukung dan pengagum, bahkan dari kabilah-kabilah lain di luar Bani Umayyah. Bani Umayyah terkenal dengan kedermawanan, kebijakan politis dan kebijaksanaan mereka serta keberhasilan mereka mendapatkan kepercayaan masyarakat, intraksi mereka yang baik terhadap rakyat, upaya-puaya jihad, penyebaran agama, dan penaklukkan berbagai negeri. Ketiga, ‘Abd al-Rahmān ibn Mu’āwiyah mengirim surat kepada semua orang Umawiyyun di Andalusia dan memaparkan idenya kepada mereka bahwa ia bermaksud memasuki Andalusia serta meminta dukungan dan bantuan mereka.[4]
Setelah Badr sukses menjalankan misinya di Andalusia, ia segera memberi informasi kepada tuannya untuk memasuki Andalusia. Situasi dan kondisi di sana telah siap untuk menyambut kedatangan ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu’āwiyah. Tanpa menunggu lama, ‘Abd al-Raḥmān mempersiapkan bekal dan kapal menuju Andalusia.
Akhirnya, pada tahun 136 H, ‘Abd al-Raḥmān tiba di tepi pantai Andalusia seorang diri disambut oleh budaknya, Badr. Begitu ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu’āwiyah memasuki Andalusia, mulailah ia mengumpulkan para pendukungnya, para pecinta Daulah Umawiyah, kabilah Barbar dan beberapa kabilah yang menentang gubernur Andalusia, Yūsuf ibn ‘Abd al-Raḥmān al-Fihrī. ‘Abd al-Raḥmān juga mendapat dukungan dari orang-orang Yaman yang dipimpin oleh Abū al-Ṣabah al-Yashubī.
‘Abd al-Raḥmān mengirim surat kepada Yūsuf al-Fihrī meminta kesediaannya secara baik-baik untuk menyerahkan kepemimpinan dan al-Fihrīakan diangkatnya sebagai salah seorang pejabat pentingnya di Andalusia. Tetapi Yūsuf al-Fihrī menolak hal tersebut sehingga ‘Abd al-Rahmān ibn Mu’āwiyah menyiapkan pasukan untuk memeranginya. Maka pada tahun 756 M (138 H) terjadi pertempuran antara ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu’awiyah dengan Yūsuf bin ‘Abd al-Raḥmān al-Fihrīdi tepi Sungai Guadalquivir.[5]Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran al-Muṣarah yang dimenangkan oleh ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu‘āwiyah. Sementara itu Yūsuf al-Fihrīmelarikan diri.
Setelah meraih kemenangan dalam pertempuran al-Muṣārah, ‘Abd al-Raḥmān memasuki Cordova, dan dia diberi gelar “al-Dākhil”, yang berarti “masuk” karena dialah orang pertama dari kalangan Bani Umayyah yang masuk ke Andalusia sebagai pemimpin.[6]Sejak itu babak baru Daulah Umawiyah di Spanyol. Fase ini dikenal sebagai periode Keamiran yang dimulai sejak tahun 756 M (138 H) dan berakhir 928 M (316 H). Disebut “Keamiran” karena saat itu Andalusia telah terpisah dari kekhilafahan Islam, baik yang ada di masa kekhilafahan Abbasiyah ataupun yang ada sesudahnya hingga akhir masa Andalusia.[7]
Fase keamiran dimulai sejak naiknya ‘Abd al-Raḥmān al-Dākhil sebagai amīr pertama pada tahun 756 (138 H). Tepatnya enam tahun setelah kejatuhan Dinasti Umayyah di Timur.[8]
Pada fase ini terdapat tujuh amīryaitu:
1. ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu‘āwiyah al-Dākhil (756-788)
2. Hisyām ibn ‘Abd al-Raḥmān (788-796)
3. Ḥakam ibn Hisyām (796-822)
4. ‘Abd al-Raḥmān ibn al-Ḥakam al-Ausat (822-852)
5. Muḥammad ibn ‘Abd al-Raḥmān (852-886)
6. Munżir (886-888)
7. ‘Abd Allāh (888-912).
[1]Ragib al-Sirjanī, Qiṣṣah al-Andalus min al-Fath ilā al-Suquṭ (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), h. 159.
[2]Ragib al-Sirjanī, Qiṣṣah al-Andalus min al-Fath ilā al-Suquṭ, h. 160.
[3]Tamim Ansary, Destiny Disrupted: A History of The World Trough Islamic Eyes, terj. Yuliani Liputo, Dari Puncak Bagdad (Cet.I; Jakarta: Zaman, 2012), h. 201-202.
[4]Lihat Ragib al-Sirjanī, Qiṣṣah al-Andalus min al-Fath ilā al-Suquṭ, h. 161-162
[5]Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: Serambi, 2013), h. 644.
[6]Lihat Ibn Khaldūn, Tārikh Ibn Khaldūn juz 4, h. 156.
[7]Ragib al-Sirjānī, Qisṣah al-Andalus min al-Fath ila al-Suqūṭ, h. 169.
[8]‘Abd al-Syafī Muhammad ‘Abd al-Latīf, Al-Alam al-Islamī fī al-Asri al-Umawī (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 392
Komentar
Posting Komentar