Mencintai, Namun Tak Memiliki

Pernah dalam sebuah acara di radio, seorang pelajar SMA menelepon dan menumpahkan problemnya. Sambil
terisak-isak layaknya anak kecil dia menceritakan tentang kekasihnya yang mengkhianati cintanya. Sang penyiar dengan sabar mendengarkan curahan hati pemuda itu dan kemudian menenangkannya. Hingga terucap kata dari pemuda itu,”Selama saya masih hidup saya tidak biarkan dia bahagia…” Duh, malangnya.

 “Cinta tidak harus memiliki” Mungkin sederetan kata ini sudah biasa didengar oleh mereka yang sedang broken heart. Mencintai seseorang tapi sayang cintanya tak bersambut. Memendam rasa tapi kenyataannya dia tidak ditakdirkan menjadi pasangan dalam mengarungi bahtera kehidupan dunia ini.

Kisah dari tanah Arab yang masyhur di telinga kita, Qais yang jatuh cinta pada gadis cantik bernama Layla (dalam kisah Layla-Majnun). Dengan penuh percaya diri Qais beserta keluarga bertandang ke rumah Layla dengan maksud melamarnya. Tapi siapa menduga keluarga Layla menolak lamaran keluarga terhormat itu. Hati Qais pedih tak terkira. Samurai serasa menyayat-nyayat dirinya. Jiwanya selalu merindu Layla, pikirannya tak henti mengenang, lidahnya terus menyebut namanya. Layla, Layla, Layla. Semakin hari kesehatannya makin memburuk. Tapi sayangnya Layla dinikahkan dengan pemuda lain. Mendengar kabar itu akhirnya Qais menjadi gila. Gila dalam bahasa arab adalah Majnun.

Sedikit terinspirasi dari kisah Layla-Majnun, Shakespeare melahirkan karya Romeo dan Juliet. Kisah cinta yang berakhir dengan keduanya menenggak racun karena tak ingin berpisah. Sehidup semati. Kira-kira begitu dibilang.

Mungkin banyak orang menganggap itulah cinta suci. Cinta yang tak berbaur dengan debu-debu nafsu. Tapi, saya kira tidak ada salahnya kita silang pendapat karena pendapat manusia manapun boleh diterima dan boleh ditolak (kecuali Rasulullah). “Mencintai tak harus memiliki” disitulah letak kesalahan kisah Qais dan Romeo, tidak mengenal kata-kata itu. Hanya saja jiwa mereka telah rapuh. Dipermainkan dan menjadi budak cinta. Dan mati karena cinta buta. sungguh tragis.
Cinta tumbuh dari hati yang terdalam, hadir dengan ikhlas meski tak diundang sebelumnya. Jadi begitulah cinta tidak bisa dipaksakan. Kita tidak bisa memaksakan kehendak agar seseorang mau mencintai kita.

Dialah Muawiyah, raja pertama Dinasti Umawiyah yang jatuh cinta pada gadis desa yang cantik dan polos. Dengan kedudukannya dia mampu mempersuntingnya. Dibawanya ke istananya yang dipenuhi pelayan-pelayan yang siap membawakan apapun yang diminta serta menjalankan apapun yang diperintahkan.

Hari berganti hari, namun bagi wanita itu istana baginya seperti bui yang mengekang. Makanan lezat terasa hambar. Hingga suatu hari Muawiyah mendengar istrinya itu melantunkan bait-bait syair kerinduannya pada seorang pemuda di kampungnya. Dialah pemuda pujaannya. Pemuda yang dicintainya. Dan dia bukan suaminya kini, Muawiyah. Akhirnya dengan berat hati Muawiyah mentalak istrinya itu dan dipulangkan ke dusunnya.

Itulah cinta. selalu penuh misteri. Tak mudah tertebak. Sosok Muawiyah yang tampan, keturunan terhormat, tinggal di istana kekhalifahan tak mampu memaksakan seorang gadis dusun untuk mencintainya. Karena memang cinta tidak diukur dengan materi atau sebagainya. Tanpa paksaan. Seringkali, seorang yang paling mencintai kita tidak menjadi yang paling kita cintai. Dan mungkin, orang yang paling kita cintai membuat hati kita tersayat-sayat. Seperti kisah Mu’awiyah di atas.

Mencintai dan dicintai bukanlah suatu yang dapat kita paksakan karena masing-masing manusia punya perasaan tersendiri yang memutuskan siapa yang pantas dan tidak pantas untuk dicintai.

Dialah Nailah, gadis delapan belas tahun yang dinikahi Utsman bin Affan (salah satu sahabat Rasulullah). Saat itu usia Utsman tidak muda lagi. Lebih pantas menjadi bapak bagi Nailah. Menyadari dirinya tidak muda lagi Utsman memberanikan diri bertanya, “Apakah engkau tidak keberatan menikah dengan orang yang sudah tua sepertiku?” sambil menunduk tersipu-sipu Naylah menjawab,”Aku termasuk wanita yang lebih suka memiliki suami yang lebih tua.” “Tapi aku melampau ketuaanku.”kembali Utsman berkata. Mendengar itu Nailah tersenyum, menunduk, dan kembali berkata,”Tapi masa mudamu sudah kau habiskan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dan itu jauh lebih aku sukai dari segala-galanya.” Duhai, indahnya perkataan itu.

Itulah cinta. Cinta yang lahir dan hadir dari hati yang tulus tanpa ada paksaan. Lalu ketika Utsman syahid (wafat) tidak sedikit yang datang meminang Nailah. Dengan kerendahan hati Nailah menolaknya dan menjawab,”Tidak mungkin ada seorang manusia yang bisa menggantikan kedudukan Utsman di dalam hatiku.” Semoga Allah mempertemukan mereka kembali dalam kenikmatan tanpa akhir di surga-Nya kelak.


Biarkan cinta itu mengalir apa adanya………..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam yang Asing

Cheng Ho, Laksamana Muslim yang Tangguh

Kisah Khalifah Al-Ma’mun Menaklukan Kaum Khawarij