Abdurrahman Al-Nashir, Khalifah Dinasti Umawiyah di Andalusia
Reruntuhan Kota al-Zahra, Peninggalan Dinasti Umayyah di Spanyol |
Biografi Abdurrahman al-Nasir
Abdurrahman al-Nasir adalah Abdurrahman ibn Muhammad bin Abdullah al-Marwani. Ia bergelar al-Nasir li dinillah. Kuniyahnya adalah Abu al-Muttharrif. Lahir di Cordoba pada tahun 890 M/ 227 H. Ibunya bernama Maria yang merupakan seorang hamba sahaya. Abdurrahman al-Nasir adalah keturunan keenam dari Abdurrahman ibn Muawiyah al-Umawy, pendiri Daulah Umawiyah di Spanyol.
Sebagaimana yang dialami oleh kakek buyutnya, Abdurrahman al-Dakhil, Abdurrahman ibn Muhammad juga tumbuh besar dalam keadaan yatim. Ketika berusia 20 hari ayahnya meninggal secara misterius.[1]Sumber lain mengatakan bahwa ayahnya dibunuh oleh pamannya bernama Muttarif.[2]
Setelah kematian ayahnya, Abdurrahman diasuh dan dibesarkan oleh kakeknya, Abdullah. Kisah hidupnya ini hampir mirip dengan kisah hidup Nabi Muhammad saw. yang diasuh oleh kakeknya, Abdul Muttalib setelah kedua orangtuanya meninggal dunia. Abdullah mendidik cucunya penuh perhatian dan kasih sayang. Didikan kakeknya yang merupakan amir daulah Umawiyah di Spanyol menjadikan Abdurrahman ibn Muhammad seorang pemuda yang tangguh dan berbakat.
Kakeknya mendidiknya sehingga ia memiliki ilmu yang luas, memiliki kemampuan kepemimpinan, kecintaan pada jihad dan kemampuan administrasi. Abdurrahman juga dididik untuk selalu bertakwa, bersabar, bersikap adil dan selalu membela orang yang terzalimi. Al-Muqri menyebutkan bahwa Abdurrahman terkenal karena kelemahlembutannya, kemurahan hatinya dan cintanya pada keadilan.[3] Abdurrahman al-Nasir juga sangat memuliakan para ulama, dan menempatkan mereka di atas kedudukannya sendiri. Ia mendengarkan fatwa-fatwa para ulama, tunduk kepada arahan-arahan mereka dan juga berupaya keras untuk menerapkan nilai-nilai syariah.
Meski sangat muda, Abdurrahman al-Nasir telah menampakkan keunggulannya dalam ilmu dan wawasan yang melebihi usianya. Ia adalah pendukung seni, mencintai ilmu pengtahuan, dan suka berkomunikasi dengan para sarjana dan intelektual.[4] Ia mempelajari al-Qur’an dan al-Sunnah saat ia masih kanak-kanak. Ia unggul dalam ilmu Nahwu, syair dan sejarah. Secara khusus, ia sangat mahir dalam seni pertempuran dan keprajuritan, hingga kakeknya mempercayakannya untuk beberapa misi penting dan menugaskannya untuk duduk mendampinginya dalam beberapa kesempatan. Ada yang mengatakan bahwa kakeknya memang telah mencalonkan Abdurrahman ibn Muhammad sebagai pewaris tahta, karena ia telah menyerahkan cincin kekuasaan kepadanya saat sakit menjelang kematiannya sebagai pertanda bahwa ia menyerahkan kekuasaan kepada cucunya tersebut.[5]
Menjadi Khalifah
Abdurrahman al-Nasir memegang jabatan kepemimpinan setelah kematian kakeknya, Abdullah, pada usia yang masih sangat muda, yakni 21 tahun. Ia dinobatkan sebagai penguasa Spanyol tanpa menimbulkan kontra.[6]
Masa-masa sebelum Abdurrahman al-Nashir berkuasa merupakan masa-masa kelemahan dinasti Umawiyah di Spanyol. Masa kelemahan tersebut dimulai setelah Abdurrahman II wafat. Setelah kematian abdurrahman II, putranya, Muhammad bin Abdurrahman II menduduki puncak kepemimpinan kemudian oleh kedua anaknya yaitu al-Mundzir dan Abdullah. Dampak dari kelemahan inilah yang mengakibatkan banyak pemberontakan di dalam negeri Andalusia. Banyak provinsi yang melepaskan diri, salah satunya yang paling populer adalah pemberontakan oleh Umar bin Hafshun yang membuat kawasan selatan memisahkan diri dan membentuk sebuah pemerintahan yang menyerupai negara.[7]
Selain pemberontakan, dampak lainnya adalah terbentuknya kerajaan Kristen baru di Utara yaitu kerajaan Navarre yang sebelumnya hanya terdapat dua kerajaan Kristen yaitu kerajaan Leon di Barat Laut dan Aragon di Timur Laut. Kerajaan-kerjaan inilah yang menyerang wilayah utara Andalusia.
Selain kedua dampak tersebut, yang tidak kalah berat adalah terbunuhnya sang pewaris tahta Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman oleh saudaranya al-Mutharif bin Abdullah. Di sisi lain, di wilayah Maghrib (Afrika Utara) muncul pemerintahan baru yaitu Daulah Fathimiyah atau Daulah Ubaidiyyah pada tahun 909 M[8]yang menjadi ancaman besar bagi Daulah Bani Umayyah di Andalusia.
Ketika menerima tampuk kekuasaan, Abdurrahman al-Nasir segera melakukan perubahan kabinet yang ada dalam pemerintahan. Ia memecat orang-orang yang dipandangnya tidak layak untuk menduduki posisi tertentu dan menggantikannya dengan orang yang menurutnya memiliki kapabilitas, kemampuan, dan skill administratif.
Khilafah Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan al-Muqtadir billah tewas terbunuh oleh Mu’nis al-Muzhaffar al-Turki.[9]Sementara itu orang-orang Fathimiyah telah memproklamirkan kekhilafahannya dan menyebut diri mereka sebagai “Amir al-Mukminin”. Namun, Al-Nasir melihat bahwa dirinya, setelah berhasil menyatukan Andalusia dan memiliki kekuatan yang besar lebih berhak dengan nama dan urusan tersebut dibanding mereka. Maka pada tahun 929 M, ia pun menyebut dirinya sebagai Amir al-Mukminin dan menamakan kekuasaannya itu sebagai Khilafah Umawiyah. Abdurrahman al-Nasir menjadi orang pertama yang menyandang gelar Amir al-Mukminin di Andalus.[10]Dengan demikian terdapat tiga khalifah Islam di dunia yaitu khilafah Abbasiyah di Timur, khilafah Fatimiyah di Maghrib dan khilafah Umawiyah di Andalus.[11]
Usaha-usahanya
Mengatasi Pemberontakan Internal di Spanyol
Pada dua puluh tahun pertama kekuasaannya, Khalifah Abdurrahman al-Nasir harus mengatasi berbagai ancaman atas kesatuan wilayahnya.[12] Pelan tapi pasti, Abdurrahman merebut kembali provinsi-provinsi yang hilang satu demi satu. Dengan kekuatannya, yang ia perlihatkan selama periode kekuasaannya yang panjang, sekitar setengah abad (912-961 M), ia memperluas wilayah taklukkannya ke berbagai penjuru.
Musuh internal bagi Daulah Umawiyah di Spanyol adalah dari kalangan umat islam sendiri. Setelah selesai dengan persoalan dalam negerinya di Cordoba, Abdurrahman al-Nasir mengirim sebuah misi yang dipimpin oleh Abbas bin Abdul Aziz al-Qurasyi ke benteng Rabah yang dikuasai oleh seorang Barbar bernama al-Fath ibn Musa ibn Zunnun yang didukung oleh seorang sekutunya bernama Orthblash. Dalam pertempuran itu, al-Fath berhasil dikalahkan dan Orthblash terbunuh. Kepalanya lalu dikirm ke Cordoba untuk digantungkan oleh al-Nasir di pintu gerbang kota untuk menakut-nakuti para pemberontak. Benteng Rabah dan sekitarnya pun bersih dari semua pemberontakan. Peristiwa ini terjadi pada Rabi al-Akhir tahun 300 H atau satu bulan setelah ia menduduki kursi kekuasaan.
Musuh internal terbesar bagi Abdurrahman al-Nasir adalah Umar ibn Hafshun. Selain karena mendapat bantuan dari kerajaan-kerajaan Kristen di utara, Ibn Hafshun juga mendapat bantuan dari selatan, yaitu dari pihak Daulah Fatimiyah. Bantuan-bantuan lain juga dari Sevilla yang dikuasai oleh seorang penguasa Muslim dari Bani Hajjaj yang memiliki pasukan yang besar.
Ibn Hafsun melakukan pemberontakan dan makar terhadap negara selama empat puluh tahun, dimulai tahun 879 M hingga tahun 917 M. Pemerintah daulah Umawiyah telah menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk memeranginya secara terus menerus dan peperangan tersebut menyibukkan negara yang juga berkonsentrasi secara penuh menghadapi orang-orang Kristen Spanyol.[13]
Pada tahun 913 M Abdurrahman berhasil merebut kota Jaen yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Umar ibn Hafshun. Ia juga berhasil merebut kembali lebih dari 70 benteng yang merupakan persembunyian utama para pemberontak. Misi tersebut menyebabkan pasukan Ibnu Hafshun mengalami kekalahan telak. Lalu pada tahun 914 M Abdurrahman al-Nasir kembali melakukan penyerangan kepada Umar bin Hafshun dan berhasil memutus bantuan dari pihak barat yang masuk melalui Sevilla. Ia berhasil merebut pegunungan Ronda, Syadzunah, dan Carmona yang semuanya merupakan kota-kota di bagian barat.
Abdurrahman al-Nasir semakin jauh masuk ke bagian selatan, hingga mencapai Selat Gibraltar dan berhasil menguasainya. Dengan bgitu, ia berhasil memutuskan semua bala bantuan yang datang untuk Ibn Hafshun dari pihak Daulah Fatimiyah yang masuk dari jalur Selat Gibraltar. Ia juga memutuskan jalur bantuan yang biasa datang dari negara-negara Kristen di utara melalui Laut Atlantik, kemudian masuk melalui Selat Gibralar dan Laut Tengah. Saat itu, ia beberapa kali menemukan kapal laut milik Ibn Hafshun yang sedang membawa bantuan dari negeri Maghrib lalu membakarnya. Dengan demikian, Abdurrahman al-Nasir telah berhasil memutuskan semua jalur yang selama ini membawa bala bantuan kepada Umar bin Hafshun. Akhirnya Umar bin Hafshun tidak punya pilihan lain selain meminta berdamai dan melakukan perjanjian dengan Abdurrahman al-Nasir, yaitu dengan menyerahkan 162 benteng pertahanannya. .
Menjelang akhir hayatnya, Umar ibn Hafshun kembali lagi ke agama Kristen bersama putrinya bernama Argentia. Pengkhianat ini pun meninggal di Benteng Pishter dan dikebumikan di gereja yang terletak di dalamnya pada tahun 305 H/ 917 M.[14]
Setelah Umar bin Hafshun meninggal, wilayah kekuasannya diperebutkan oleh anak-anaknya. Hal ini menyebabkan mereka terpecah belah. Ada di antara mereka yang berpihak kepada Abdurrahman al-Nasir sehingga sejumlah peperangan berikutnya mmbuatnya lebih mudah untuk menguasai semua wilayah pertahanan Ibn Hafshun dan membersihkannya pada tahun 316 H.[15]
Melawan Daulah Fathimiyah
Di masa kekuasaan Abdurrahman al-Nasir banyak musuh dari pihak internal maupun eksternal yang mengancam kekuasaannya. Musuh yang paling berbahaya adalah Dinasti Fatimiyah di selatan dan raja-raja Leon Kristen di utara.[16]
Pendiri pemerintahan Fathimiyah yang juga dikenal dengan Dinasti Ubaidiyyah adalah Ubaidillah ibn Muhammad al-Mahdi. Nama Ubaidiyyah dinisbatkan kepadanya. Ayahnya telah berhasil menyebarkan dakwah Fathimiyah di negeri Yaman, kemudian Yamamah, Bahrain, Sind, Mesir, dan Maghrib. Ubaidillah melanjutkan gerak langkah dan jejak ayahnya dan meluaskan pengaruhnya.[17]
Al-Mahdi berkuasa di saat pemerintahan Umawiyah di Andalusia sedang sibuk untuk menghadapi berbagai pemberontakan yang saat itu menghantam Andalusia dari dalam. Selain itu Andalusia juga disibukkan untuk menahan serangan pasukan Kristen dari utara.
Dalam menghadapi Daulah Fatimiyah, Abdurrahman al-Nasir mendirikan front baru di Maghrib. Tahun 319 H, Abd al-Rahman mengirim sebuah pasukan dengan menggunakan kapal ke Ceuta dan berhasil merebutnya dari tangan para penguasanya yaitu Bani Isham yang merupakan sekutu dari orang-orang Fatimiyyun.[18]Ceuta adalah kota penting di Afrika Utara karena ia menjadi kunci untuk masuk ke Spanyol. Pasukan Islam pertama kali menaklukkan Andalusia melalui pelabuhan Ceuta.
Setelah berhasil merebut Ceuta, Abdurrahman al-Nasir melanjutkan penaklukkan ke kota Tangier yang dikuasai oleh Al-Hasan bin Abi al-‘Aisy bin Idris al-Alawy. Dengan mengirim armada lautnya dari Andalusia, pasukan Abd al-Rahman berhasil mengepungnya hingga ia terpaksa menyerahkan diri.
Strategi untuk memilih menyerang langsung Daulah Fatimiyah di Afrika Utara yang merupakan markas Daulah Fatimiyah adalah strategi yang brilian. Ini dilakukan sebelum orang-orang Fatimiyun dapat masuk ke Spanyol. Di saat yang sama memang Daulah Fatimiyah juga sedang memperkuat pilar-pilar kekuatannya di wilayah Magrib karena mereka tidak dapat memasuki Spanyol kecuali melalui Magrib.
Pihak Fatimiyyun tidak tinggal diam. Khalifah al-Mu’iz li dinillah mengirim serangan balasan kepada Abdurrahman al-Nasir. Ia memrintahkan armada lautnya untuk menghantam wilayah tepian pantai Andalusia. Pada tahun 344 H kapal-kapal Fatimiyyun menyerang benteng Almeria dan membakar semua perahu dan merusak semua apa yang dapat dirusak. Melihat hal itu, Abd al-Rahman juga memerintahkan armada lautnya keluar ke tepian pantai Daulah Fatimiyah dan menggempur mereka kembali pada tahun 345. Orang-orang Fatimiyyun akhirnya sadar bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi Abdurrahman al-Nasir. Mereka tidak mengulangi kembali apa yang mereka lakukan.
Abdurrahman al-Nasir Melawan Kerajaan-kerajaan Kristen
Sebagai pembela agama, Khalifah al-Nashir merasa bahwa tugasnya yang tertinggi adalah mengobarkan perang suci melawan orang Kristen, yang tak henti-hentinya memperlihatkan rasa iri dan mengincar wilayah leluhur mereka di selatan.[19]
Pada tahun 921 M Abdurrahman meyerang pihak Kristen di Utara yang berada di bawah kerajaan Leon dan Navarre. Terjadilah pertempuran Mobesy yang berlangsung selama tiga bulan. Abdurrahman berhasil meraih kemenangan besar dan mendapat harta rampasan perang yang sangat banyak. Ia juga berhasil merebut kota Salim yang sebelumnya berada di pihak Kristen.
Setelah empat tahun dari pertempuran Mobesy, di tahun 924 M Abdurrahman memimpin sendiri sebuah pasukan besar untuk menyerang kerajaan Navarre dan dalam beberapa hari saja ia berhasil melumpuhkannya, serta memasukkan kota Banbalonah, ibu kota Navarre sebagai milik kaum Muslimin. Setelah itu, ia mulai bergerak membebaskan tempat-tempat lain yang telah dikuasai oleh pihak Kristen di masa kelemahan Daulah Umawiyah sebelumnya.
Pada tahun 928 M Abdurrahman mengirim sebuah pasukan lain ke timur Andalusia untuk meredam pemberontakan lain di sana. Akhirnya ia kembali berhasil memasukkannya dalam wilayah kekuasaannya. Di tahun yang sama ia mengirim pasukan ke barat Andalusia sehingga ia mampu mengalahkan Abdurrahman al-Jilliqy. Dengan begitu, ia berhasil memasukkan wilayah barat Andalusia ke dalam kekuasaannya kembali.
Dengan demikian, Setelah 16 tahun Abdurrahman berhasil menyatukan seluruh Andalusia di bawah satu panji. Ia menyatukan semuanya pada saat usianya belum melewati 38 tahun.[20]
Memajukan Perekonomian
Abdurrahman al-Nasir sangat memperhatikan perekonomian di Andalusia. Di masanya, masyarakat hidup dalam kemakmuran dan anggaran keuangan negara mencapai enam juta dinar emas. Khalifah membaginya menjadi tiga bagian, sepertiga untuk tentara, sepertiga untuk pembangunan, gaji dan yang lainnya, sepertiga yang terakhir untuk simpanan masa-masa yang sulit.
Pertanian juga mengalami pertumbuhan yang pesat. Berbagai macam tananman dan buah-buahan seperti tebu, zaitun, dan kapas terdapat di Spanyol. Khalifah juga menyiapkan kebun-kebun khusus untuk menternakkan ulat sutra. Mengatur saluran-saluran pembuangan dan cara pnyaluran air, menetapkan pengaturan waktu untuk menanam di setiap musim.
Di antara yang menjadi perhatian pentingnya juga adalah mengeksplorasi emas, perak, dan besi. Demikian pula dengan kerajinan kulit, pembuatan perahu, alat-alat pertanian, dan industri farmasi. Ia juga mendirikan banyak pasar yang terbagi sesuai barang yang dijual seperti pasar khusus untuk tukang besi, daging, dan pasar yang khusus menjual aneka macam bunga.
Sisi keamanan
Institusi kepolisian termasuk posisi administratif paling penting yang berkaitan dengan pengaturan keamanan. Institusi ini sebelum masa al-Nasir terbagi menjadi dua tingkatan yaitu kepolisian tinggi dan kepolisian rendah. Namun sejak tahun 317 H di masa al-Nasir, institusi ini berdasarkan urgensinya dibagi menjadi tiga bagian yaitu kepolisian tinggi, kepolisian tengah, dan kepolisian rendah. Begitu juga dengan institusi peradilan dibagi menjadi dua bagian pada tahun 325 H. Sebelum masa al-Nasir institusi ini hanya berdiri sendiri menangani pengaduan dan kezaliman, namun di masa al-Nasir masing-masing bagian itu dibuat berdiri sendiri.
Membangun Kota Al-Zahra
Hal penting yang membedakan sisi pembangunan fisik di masa abdurrahman al-Nasir adalah kota besar yang didirikannya dan dikenal dengan nama Madinah al-Zahra (Kota al-Zahra). Kota al-Zahra dibangun dengan model arsitektur yang sangat tinggi. Untuk pembangunannya, Abdurrahman al-Nasir mendatangkan bahan-bahan dari Konstantinopel, Baghdad, Tunisia dan dari Eropa. Kota yang dibangun di atas lereng sebuah gunung ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah bagian yang terdekat dengan gunung dihuni oleh sang Khalifah. Di sana dia memiliki istana-istananya, taman peristirahatan, dan lain-lain. Di bagian kedua, berdiam para pelayan dan sida-sida rumah tangga khalifah dan para pengawal pribadinya. Terdiri dari 12.000 orang dengan pakaian terbaiknya menyandang pedang serta mengenakan sabuk gemerlap berhiaskan emas. Satu datasemen orang-orang ini senantiasa mengantarkan Khalifah kemanapun ia berjalan dan menjadi penjaga di istananya. Bagian ketiga terletak di kebun dan ruang santai. Di sana terdapat istana tempat Abd al-Rahman memutuskan cara pandang kekuasaannya.
Seluruh bagian istana dicukupi air melimpah yang dialirkan dari gunung-gunung di sekitarnya. Bangunan dalam al-Zahra yang paling terkenal adalah pavilium yang langsung menghadap ke kebun. Bangunan-bangunan ini disokong oleh tiang dengan lapisan marmer ditempeli emas dan bertahtakan batu delima serta permata. Di depan pavilium terdapat tangki besar berisi zabig atau air raksa yang selalu bergerak terus-menerus dan memantulkan sinar matahari sampai ke pavilium.[21]
Di kota al-Zahra, Abdurrahman al-Nasir mendirikan istana al-Zahra; istana yang belum dibangun serupa itu pada masanya. Ia benar-benar mengerahkan upayanya dalam membangunnya hingga menjadi salah satu mukjizat di zamannya. Banyak orang yang datang dari Eropa dan seluruh negeri Islam untuk menyaksikan kemegahannya.
Istana al-Zahra terletak 7 km dari Cordova di atas tepi sungai Guadalquivir. Pembangunan istana ini menghabiskan waktu 40 tahun, dan diselesaikan oleh putranya, al-Hakam. Berdasarkan kesaksian para sejarawan yang bertandang ke istana ini, istana al-Zahra merupakan salah satu keajaiban dunia.[22]
[1]Lihat Tim Riset dan Studi Islam Mesir, al-Mausuah al-Muyassarah, terj. M.Taufik & Ali Nurdin, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), h. 384.
[2]Rinhart Dozy, Spanish Islam A History of Moslems in Spain(London: Fank Cass, 1972), h. 382. Ibn Khalidun, Tarikh Ibn Khaldun, h. 175. Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth, terj. Muhammad Ihsan & Abd al-Rasyad Shiddiq, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia Jejak Kejayaan Peradaban Islam di Spanyol, (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 214.
[3] David Levering Lewis, God Crucible: Islam and The Making of Europe 570-1215 terj. Yuliani Liputa, The Greatness of al-Andalus Ketika Islam Mewarnai Peradaban Barat, (Cet.III; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2012), h. 463.
[4] David Levering Lewis, God Crucible: Islam and The Making of Europe 570-1215, h. 463.
[5] Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth,h. 215-216.
[6]Lihat Tim Riset dan Studi Islam Mesir, h. 384.
[7]Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth,h. 207.
[8]Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth,h. 209.
[9]Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, h. 176.
[10]Hasan Ibrahim Hasan, Al-Daulah al-Fatimiyah fi Al-Magrib, wa Mishr, wa Suriyah wa Bilad al-Arab (Cet.II; Mesir: t.p, 1958), h. 248. Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, h. 176. Ahmad Thomson, Islam in Andalus, h. 66.
[11]Hasan Ibrahim Hasan, Al-Daulah al-Fatimiyah fi Al-Magrib, wa Mishr, wa Suriyah wa Bilad al-Arab (Cet.II; Mesir: tp, 1958), h. 248-249.
[12]W. Montgomery Watt, The Influence on Medieval Europe, terj. Hendro Prasetyo, Islam dan Peradaban Dunia Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan (Cet.III; Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 4
[13]Sa’ad Karim al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat al-Tarikh al-Islami, terj. Muhyiddin Mas Rida, Pengkhianat-Pengkhianat dalam Sejarah Islam (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), h. 164.
[14] Sa’ad Karim al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat al-Tarikh al-Islami, h. 164.
[15] Raghib al-Sirjani, h. 227.
[16]Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Cet.I; Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013), h. 662.
[17] Ahmad al-Usairy, al-Tarikh al-Islamiy, terj. Samson Rahman, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, (Cet.VI; Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), h. 269.
[18]Lihat Raghib al-Sirjani, h. 235.
[19]Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 666.
[20]Raghib al-Sirjani, h. 228.
[21] Ahmad Thomson, Muhammad Ata’ al-Rahim, Islam In Andalus, terj. Kampung Kreasi, Islam Andalusia, Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan, Cet.I; Ciputat: Penerbit Gaya Media Pratama, 2004), h. 68-69.
[22] Tim Riset dan Studi Islam Mesir, al-Mausuah al-Muyassarah h. 387.
Komentar
Posting Komentar